Home

Sabtu, 06 Agustus 2016

300 KM Menuju Jahanam





Siang itu terik meradang,bola matahari seakan terbakar lebih dari biasanya,lidahnya menjulur-julur ke bumi menebarkan panas tiada terhingga. Debu beterbangan terhempas angin menari-nari di udara dan kemudian terdampar entah kemana. Sempurnalah terik hari itu. Tapi aku masih muda dan kuat,apalah arti cuaca yang buruk bagi sebuah keinginan.
            Bersama teman-teman, aku telah merencanakan sebuah perjalanan dari Riyadh menuju Damam dengan menggunakan mobil.
            Kami pun berangkat dengan kebahagiaan yang mekar di hati masing-masing, sesudah berkumpul di rumah yang ditentukan,mobilpun melaju melewati ruas-ruas jalan. Tak lama sesudah menancapkan gas, kami melewati rambu di sebelah kiri jalan. Kawan-kawanku membacanya dengan semangat,
“Dhamam  300 KM”
            Namun alangkah kagetnya aku,apa yang mereka baca ternyata tidak sama dengan apa yang aku lihat. Aku terperangah bercampur cemas,
“Bukan kawan-kawan,aku melihat rambu  tadi bertuliskan , Jahanam 300 KM !”
            Kawan-kawanku tertawa terbahak-bahak, mereka mengira aku sedang bercanda, kalaupun tidak, mereka pikir aku mengidap penyakit rabun jauh. Aku berusaha meyakinkan mereka kalau aku tidak mengidap penyakit rabun jauh dan tidak juga sedang bercanda. Aku benar-benar melihatnya seperti itu! Namun mereka tetap saja mengacuhkanku dan menganggapku bercanda. Selanjutnya suara tawa kawan-kawan terdengar semakin keras.
            Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, setelah beberapa lama menyusuri padang pasir yang luas, kami mendapati rambu yang  kedua.  Teman-temanku kembali membaca rambu itu,
“Damam 200 KM.”
Lagi-lagi aku sangat kaget karena yang aku baca tidak seperti yang aku lihat. Aku pun kembali mengatakan kepada mereka apa yang aku lihat.
“Bukan, bukan ‘Damam 200 KM’ tapi tertulis ‘Jahanam 200 KM’ lagi!”
            Mereka kembali terbahak-bahak mengejek apa yang aku katakan. Seperti kali pertama, mereka mengganggap aku bercanda atau aku mengidap penyakit rabun jauh. Bahkan kini mereka mulai menampakkan rasa tidak senang dengan ucapan yang mereka anggap guyonan itu. Salah seorang dari mereka pun dengan ketus berkata,
“Kamu memang sudah gila. Masak tulisan Damam kamu baca Jahanam. Jauh amat!” Umpatnya kesal. Aku lalu menjawabnya dan berusaha membela diri bahwa yang aku lihat benar adanya.
“Demi Allah, tiada Tuhan  selain Dia. Memang itu yang aku lihat,” ujarku meyakinkan mereka.
            Lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Padahal aku samasekali tidak sedang bercanda, apalagi mereka tahu aku bukanlah tipe orang yang suka bercanda, cita rasa humorku rendah. Melihat gelagat mereka yang kurang suka padaku, akhirnya aku memilih diam dengan menyimpan rasa kesal dalam hati.
            Dalam perjalanan, mereka masih tetap  menertawakanku. Hingga beberapa saat kemudian rambu ketiga dalam perjalanan kami kembali kami lalui. Rambu ketiga itu bertuliskan,
“Damam 100 KM.”
“Lihat kita sudah mau sampai. Damam tinggal 100 KM lagi!”,  ucap salah seorang mereka girang.
“Kawan, demi Allah, aku melihatnya, Jahanam 100 KM lagi!” tegasku meyakinkan mereka.
“Sudahlah kawan, lebih baik kamu diam! Candaanmu itu norak,  tidak lucu!” jawab mereka serentak dengan nada kesal.
            Aku langsung terdiam dengan menyimpan amarah  yang membuncah. Kata-kata kasar mereka telah menghunjam ulu hatiku. Aku tersinggung, apalagi gurat muka mereka dengan jelas menampakkan rasa tidak bersahabat. Karena tidak merasa nyaman lagi berada di tengah mereka, aku  pun memutuskan untuk kembali ke Riyadh.
“Kawan, mohon maaf, agaknya aku harus turun di sini. Aku  benar-benar mohon maaf  telah membuat kalian tidak berkenan. Hanya saja, perasaanku mendadak tidak enak,” jelasku  dengan wajah muram.
            Bukannnya mereka bertanya dengan baik,  kenapa aku meminta turun dan kembali ke Riyadh, mereka malah kembali dengan ketus menghakimiku.
“Apa kamu sudah gila, masak kamu mau turun  di tengah padang pasir seperti ini? Lihat tuh disini tidak ada orang  samasekali!” bentak mereka dengan nada ketus.
“Aku bertawakal kepada Allah. Apapun resikonya, aku ingin turun disini, biarlah aku mencari orang yang mau memberikan tumpangan untuk kembali ke Riyadh,” kataku beralasan.

Merekapun menurunkan aku di tengah jalan. Dengan langkah berat, aku turun dari mobil dan menyeberang ke jalan yang berlawanan.  Sejenak aku terdiam, mataku tak henti-hentinya menatap setiap kendaraan yang lalu lalang di hadapanku. Aku  berkali kali-kali memberi isyarat dengan tangan untuk mencoba mencari tumpangan. Namun tak seorangpun mengacuhkan.
            Lama sekali aku menunggu.  Akan tetapi, tak ada satu mobil pun yang lewat dan mau memberikan tumpangan. Setelah beberapa jam lamanya akhirnya aku mendapatkan tumpangan sebuah truk, aku naik dan duduk di samping supir.
            Sesudah menutup pintu,truk itu kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Namun  supir yang membawa mobil itu hanya diam. Matanya menatap jauh ke depan. Tidak ada sepatah katapun yang terucap. Merasa tidak nyaman dengan kebekuan suasana, aku memberikan diri untuk mengajak dia bicara.
“Apa kabar pak? Bisakah kita sambil ngobrol-ngobrol? Mudah-mudahan Anda tidak keberatan,” ucapku membuka percapakan.
“Tidak, sama sekali tidak keberatan,” jawabnya dengan raut muka penuh kegusaran. Seakan telah terjadi sesuatu padanya.
“Anda kelihatannya murung sekali,memangnya ada apa pak?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang ketakuutan. Barusan aku melihat kecelakaan lalu lintas. Demi Allah, aku belum lihat kecelakaan sedahsyat ittu selama hidupku,” ucap sang sopir mencoba menjelaskan sesuatu yang membuat ia tercenung.
“Siapa yang kecelakaan? Di mana?” tanyaku penasaran.
“Kira-kira berjarak 15 KM sebelum kamu menyetop aku tadi. Entahlah, aku tidak tahu mereka siapa, yang jelas mereka sekumpulan anak-anak muda semua,” sopir truk itu menjelaskan.
            Sopir itu lalu menyyebbut ciri-ciri mobil yang mrngalami kecelakaan tadi. Jenisnya, warnanya, dan jumlah rang yanng ada di dalamnya. Aku tersentak kaget. Semua ciri yang disebutkan tadi mengarah pada mobil yang aku tumpangi bersama teman-teman tadi.  Tapi aku berharap, semoga bukan mereka yang mengalami kejadian mengerikan itu.
“Aku berlindung kepada Allah dari semua bencana yang mengerikan ini!” gumamku dalam hati.
“Bagaimana kejadiannya pak?” tanyaku lagi.
“Demi Allah yang maha agung, aku melihat mobil mereka membentur pembatas jalan. Mobil itu ringsek tanpa bentuk. Darah segar memuncrat di jalan, juga membasai mobil mereka. Sesaat sesudah benturan itu, mereka meregang nyawa dengan tubuh remuk redam tanpa bentuk. Demikianlah apa yang aku lihat tadi. Tidak dilebihkan, tidak juga dikurangi,”  jelas sang sopir meyakinkan aku yang terlihat kurang mempercayainya.
            Aku terdiam mematung. Membayangkan muka mereka  beberapa jam yang lalu.  Hatiku langsung lemas dan mulutku tidak henti-hentinya  membaca  istighfar. Begitulah Allah mengambil nyawa kawan-kawanku setelah aku turun dari mobil mereka.
            Entah mereka melihat rambu-rambu yang aku baca atau tidak. Sungguh, aku samasekali tidak mengharapkan itu. Apalagi aku juga tahu persis perbuatan-perbuatan maksiat yang mereka lakukan selama ini. Kasihan mereka, pikirku dalam hati. Aku bersyukur karena Allah telah menolongku sehingga aku tidak termasuk korban kecelakaan itu.
            Hatiku tidak henti-hentinya bersyukur dan bibirku berucap,
“Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Tiada tuhan selain engkau. Sesudah peristiwa itu, aku berjanji, sesampainya aku di Riyadh nanti, aku tidak akan berbuat maksiat sekecil apapun dan akan berusaha senantiasa taat kepada-Mu, ya Allah .”
            . . .
            Kisah di atas merupakan kisah nyata. Aku (Penulis) Mendengarnya dari salah seorang ulama yang juga sering memandikan jenazah. Saat itu ia memberikan ceramah di sebuah mesjid. Aku mendengar seksama kisah ini sampai perasaanku terbawa dalam luapan kesedihan.
            Ulama itu bernama Syaikh Sulaimman As-Syahri. Sesudah menceritakan kisah itu, beliau memberitahu kami dengan nada bertanya,
“Anda tahu siapakah anak muda yang selamat dari kecelakaan itu ?”
Sambil menyunggingkan senyuman, ia menatap kearah kami yang menjawab. Kami terdiam. Kemudian beliau menjawab sendiri pertanyaan itu,
“Anak muda yang selamat dari kecelakaaan dahsyat dan mengerikan itu, tiada lain saya sendiri,” ucapnya pelan.

            Tiba-tiba kesedihan merajut mukanya yang bersih. Ia teringat bayang-bayang temannya yang dahulu menjadi bagian masa mudanya. Kami terkesiap.  Sungguh samasekali kami tidak menyangka. Kini ia telah menjadi lelaki yang saleh, taat beragama, dan tekun beribadah.
            Kawan, kisah ini bisa kita ambil hikmahnya. Untuk menjadi orang baik dan taat beribadah tak usah kita menunggu empat atau lima kawan kita menuju neraka jahanam terlebih dahulu. Karena ajal adalah rahasia Allah.
            Bisa saja bukan anda yang bertaubat karena kematian kawan anda. Tetapi justru kawan anda yang bertaubat karena kematian anda sendiri, dan andai kematian itu menyambangi kita dengan lumuran dosa dan kemaksiatan, sungguh kita akan termasuk golongan orang-orang yang sangat merugi di akhirat nanti.
            Kita berdoa kepada Allah, semoga Allah menjadikan kita bukan sebagai bahan pelajaran bagi orang lain. Akan tetapi menjadikan kita orang-orang yang mampu memberikan pelajaran kebaikan kepada orang lain. Amin ya Rabbal’alamin

Dikutip dari buku  karya Ahmad Salim Badwilan  "300 KM  MENUJU JAHANAM"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar