Siang
itu terik meradang,bola matahari seakan terbakar lebih dari biasanya,lidahnya
menjulur-julur ke bumi menebarkan panas tiada terhingga. Debu beterbangan
terhempas angin menari-nari di udara dan kemudian terdampar entah kemana.
Sempurnalah terik hari itu. Tapi aku masih muda dan kuat,apalah arti cuaca yang
buruk bagi sebuah keinginan.
Bersama teman-teman, aku telah
merencanakan sebuah perjalanan dari Riyadh menuju Damam dengan menggunakan
mobil.
Kami pun berangkat dengan
kebahagiaan yang mekar di hati masing-masing, sesudah berkumpul di rumah yang
ditentukan,mobilpun melaju melewati ruas-ruas jalan. Tak lama sesudah
menancapkan gas, kami melewati rambu di sebelah kiri jalan. Kawan-kawanku
membacanya dengan semangat,
“Dhamam 300 KM”
Namun alangkah kagetnya aku,apa yang
mereka baca ternyata tidak sama dengan apa yang aku lihat. Aku terperangah
bercampur cemas,
Kawan-kawanku tertawa
terbahak-bahak, mereka mengira aku sedang bercanda, kalaupun tidak, mereka
pikir aku mengidap penyakit rabun jauh. Aku berusaha meyakinkan mereka kalau
aku tidak mengidap penyakit rabun jauh dan tidak juga sedang bercanda. Aku
benar-benar melihatnya seperti itu! Namun mereka tetap saja mengacuhkanku dan
menganggapku bercanda. Selanjutnya suara tawa kawan-kawan terdengar semakin
keras.
Mobil melaju dengan kecepatan
tinggi, setelah beberapa lama menyusuri padang pasir yang luas, kami mendapati
rambu yang kedua. Teman-temanku kembali membaca rambu itu,
“Damam
200 KM.”
Lagi-lagi
aku sangat kaget karena yang aku baca tidak seperti yang aku lihat. Aku pun
kembali mengatakan kepada mereka apa yang aku lihat.
“Bukan,
bukan ‘Damam 200 KM’ tapi tertulis ‘Jahanam 200 KM’ lagi!”
Mereka kembali terbahak-bahak mengejek
apa yang aku katakan. Seperti kali pertama, mereka mengganggap aku bercanda
atau aku mengidap penyakit rabun jauh. Bahkan kini mereka mulai menampakkan
rasa tidak senang dengan ucapan yang mereka anggap guyonan itu. Salah seorang
dari mereka pun dengan ketus berkata,
“Kamu
memang sudah gila. Masak tulisan Damam kamu baca Jahanam. Jauh amat!” Umpatnya
kesal. Aku lalu menjawabnya dan berusaha membela diri bahwa yang aku lihat
benar adanya.
“Demi
Allah, tiada Tuhan selain Dia. Memang
itu yang aku lihat,” ujarku meyakinkan mereka.
Lagi-lagi mereka tertawa
terbahak-bahak. Padahal aku samasekali tidak sedang bercanda, apalagi mereka
tahu aku bukanlah tipe orang yang suka bercanda, cita rasa humorku rendah.
Melihat gelagat mereka yang kurang suka padaku, akhirnya aku memilih diam
dengan menyimpan rasa kesal dalam hati.
Dalam perjalanan, mereka masih
tetap menertawakanku. Hingga beberapa
saat kemudian rambu ketiga dalam perjalanan kami kembali kami lalui. Rambu
ketiga itu bertuliskan,
“Damam
100 KM.”
“Lihat
kita sudah mau sampai. Damam tinggal 100 KM lagi!”, ucap salah seorang mereka girang.
“Kawan,
demi Allah, aku melihatnya, Jahanam 100 KM lagi!” tegasku meyakinkan mereka.
“Sudahlah
kawan, lebih baik kamu diam! Candaanmu itu norak, tidak lucu!” jawab mereka serentak dengan
nada kesal.
Aku langsung terdiam dengan
menyimpan amarah yang membuncah.
Kata-kata kasar mereka telah menghunjam ulu hatiku. Aku tersinggung, apalagi
gurat muka mereka dengan jelas menampakkan rasa tidak bersahabat. Karena tidak
merasa nyaman lagi berada di tengah mereka, aku
pun memutuskan untuk kembali ke Riyadh.
“Kawan,
mohon maaf, agaknya aku harus turun di sini. Aku benar-benar mohon maaf telah membuat kalian tidak berkenan. Hanya saja,
perasaanku mendadak tidak enak,” jelasku
dengan wajah muram.
Bukannnya mereka bertanya dengan
baik, kenapa aku meminta turun dan
kembali ke Riyadh, mereka malah kembali dengan ketus menghakimiku.
“Apa
kamu sudah gila, masak kamu mau turun di
tengah padang pasir seperti ini? Lihat tuh disini tidak ada orang samasekali!” bentak mereka dengan nada ketus.
“Aku
bertawakal kepada Allah. Apapun resikonya, aku ingin turun disini, biarlah aku
mencari orang yang mau memberikan tumpangan untuk kembali ke Riyadh,” kataku
beralasan.
Merekapun
menurunkan aku di tengah jalan. Dengan langkah berat, aku turun dari mobil dan
menyeberang ke jalan yang berlawanan.
Sejenak aku terdiam, mataku tak henti-hentinya menatap setiap kendaraan
yang lalu lalang di hadapanku. Aku
berkali kali-kali memberi isyarat dengan tangan untuk mencoba mencari
tumpangan. Namun tak seorangpun mengacuhkan.
Lama sekali aku menunggu. Akan tetapi, tak ada satu mobil pun yang
lewat dan mau memberikan tumpangan. Setelah beberapa jam lamanya akhirnya aku
mendapatkan tumpangan sebuah truk, aku naik dan duduk di samping supir.
Sesudah menutup pintu,truk itu
kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Namun
supir yang membawa mobil itu hanya diam. Matanya menatap jauh ke depan.
Tidak ada sepatah katapun yang terucap. Merasa tidak nyaman dengan kebekuan
suasana, aku memberikan diri untuk mengajak dia bicara.
“Apa
kabar pak? Bisakah kita sambil ngobrol-ngobrol? Mudah-mudahan Anda tidak
keberatan,” ucapku membuka percapakan.
“Tidak,
sama sekali tidak keberatan,” jawabnya dengan raut muka penuh kegusaran. Seakan
telah terjadi sesuatu padanya.
“Anda
kelihatannya murung sekali,memangnya ada apa pak?”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya sedang ketakuutan. Barusan aku melihat kecelakaan lalu
lintas. Demi Allah, aku belum lihat kecelakaan sedahsyat ittu selama hidupku,”
ucap sang sopir mencoba menjelaskan sesuatu yang membuat ia tercenung.
“Siapa
yang kecelakaan? Di mana?” tanyaku penasaran.
“Kira-kira
berjarak 15 KM sebelum kamu menyetop aku tadi. Entahlah, aku tidak tahu mereka
siapa, yang jelas mereka sekumpulan anak-anak muda semua,” sopir truk itu
menjelaskan.
Sopir itu lalu menyyebbut ciri-ciri
mobil yang mrngalami kecelakaan tadi. Jenisnya, warnanya, dan jumlah rang yanng
ada di dalamnya. Aku tersentak kaget. Semua ciri yang disebutkan tadi mengarah
pada mobil yang aku tumpangi bersama teman-teman tadi. Tapi aku berharap, semoga bukan mereka yang
mengalami kejadian mengerikan itu.
“Aku
berlindung kepada Allah dari semua bencana yang mengerikan ini!” gumamku dalam
hati.
“Bagaimana
kejadiannya pak?” tanyaku lagi.
“Demi
Allah yang maha agung, aku melihat mobil mereka membentur pembatas jalan. Mobil
itu ringsek tanpa bentuk. Darah segar memuncrat di jalan, juga membasai mobil
mereka. Sesaat sesudah benturan itu, mereka meregang nyawa dengan tubuh remuk
redam tanpa bentuk. Demikianlah apa yang aku lihat tadi. Tidak dilebihkan,
tidak juga dikurangi,” jelas sang sopir
meyakinkan aku yang terlihat kurang mempercayainya.
Aku terdiam mematung. Membayangkan
muka mereka beberapa jam yang lalu. Hatiku langsung lemas dan mulutku tidak
henti-hentinya membaca istighfar. Begitulah Allah mengambil nyawa
kawan-kawanku setelah aku turun dari mobil mereka.
Entah mereka melihat rambu-rambu yang
aku baca atau tidak. Sungguh, aku samasekali tidak mengharapkan itu. Apalagi
aku juga tahu persis perbuatan-perbuatan maksiat yang mereka lakukan selama
ini. Kasihan mereka, pikirku dalam hati. Aku bersyukur karena Allah telah
menolongku sehingga aku tidak termasuk korban kecelakaan itu.
Hatiku tidak henti-hentinya bersyukur
dan bibirku berucap,
“Ya
Allah, segala puji bagi-Mu. Tiada tuhan selain engkau. Sesudah peristiwa itu,
aku berjanji, sesampainya aku di Riyadh nanti, aku tidak akan berbuat maksiat
sekecil apapun dan akan berusaha senantiasa taat kepada-Mu, ya Allah .”
. . .
Kisah di atas merupakan kisah nyata.
Aku (Penulis) Mendengarnya dari salah seorang ulama yang juga sering memandikan
jenazah. Saat itu ia memberikan ceramah di sebuah mesjid. Aku mendengar seksama
kisah ini sampai perasaanku terbawa dalam luapan kesedihan.
Ulama itu bernama Syaikh Sulaimman
As-Syahri. Sesudah menceritakan kisah itu, beliau memberitahu kami dengan nada
bertanya,
“Anda
tahu siapakah anak muda yang selamat dari kecelakaan itu ?”
Sambil
menyunggingkan senyuman, ia menatap kearah kami yang menjawab. Kami terdiam.
Kemudian beliau menjawab sendiri pertanyaan itu,
“Anak
muda yang selamat dari kecelakaaan dahsyat dan mengerikan itu, tiada lain saya
sendiri,” ucapnya pelan.
Tiba-tiba kesedihan merajut mukanya
yang bersih. Ia teringat bayang-bayang temannya yang dahulu menjadi bagian masa
mudanya. Kami terkesiap. Sungguh samasekali
kami tidak menyangka. Kini ia telah menjadi lelaki yang saleh, taat beragama,
dan tekun beribadah.
Kawan, kisah ini bisa kita ambil hikmahnya.
Untuk menjadi orang baik dan taat beribadah tak usah kita menunggu empat atau
lima kawan kita menuju neraka jahanam terlebih dahulu. Karena ajal adalah
rahasia Allah.
Bisa saja bukan anda yang bertaubat
karena kematian kawan anda. Tetapi justru kawan anda yang bertaubat karena
kematian anda sendiri, dan andai kematian itu menyambangi kita dengan lumuran
dosa dan kemaksiatan, sungguh kita akan termasuk golongan orang-orang yang
sangat merugi di akhirat nanti.
Kita berdoa kepada Allah, semoga
Allah menjadikan kita bukan sebagai bahan pelajaran bagi orang lain. Akan tetapi
menjadikan kita orang-orang yang mampu memberikan pelajaran kebaikan kepada
orang lain. Amin ya Rabbal’alamin!
Dikutip dari buku karya Ahmad Salim Badwilan "300 KM MENUJU JAHANAM"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar