Seorang
santri memutuskan untuk menimba ilmu agama ke luar negeri. Dia bermukim lama
sekali di negara tempatnya belajar. Sesudah ia merasa cukup dengan ilmu yang
dimilikinya, ia kembali pulang pada keluarga dan negaranya.
Sesampainya di rumah ia bertanya
kepada keluarganya adakah di kampung ini ulama yang luas ilmunya, karena ia
mempunyai beberapa pertanyaan yang saat ini selalu saja menghantui pikirannya.
Keluarganya mengatakan, bahwa ada
seorang ulama saleh dan memiliki ilmu agama yang mumpuni yang bisa menjawab
pertanyaan sang santri. Mendengar jawaban keluarganya ia merasa sangat bahagia.
Ia pun bergegas menuju rumah ulama tersebut. Sesampainya di sana ia lalu
berdialog dengan ulama itu.
“Assalamu’alaikum,”
ucap santri santun.
“Wa’alaikum
salam,” jawab sang ulama seraya tersenyum.
Merasa tidak mengenal tamunya ,ulama
itu bertanya kepada santri yang ada di depannya,
“Siapakah
nama Anda? Adakah sesuatu yang bisa saya bantu?”
“Nama
saya Mahmud. Kalau berkenan, saya juga ingin bertanya kepada Anda, siapakah Anda?
Bolehkan saya bertanya mengenai tiga pertanyaan kepada Anda?” Tanya santri.
“Saya
hanya hamba Allah biasa. Akan tetapi, Insya Allah saya akan mencoba menjawab
pertanyaanmu, Nak. Dengan izin Allah tentunya,” ujar ulama itu merendah.
“Apa Anda yakin bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya? Karena sebelumnya, saya pernah menanyakan masalah
ini kepada banyak ulama, namun mereka tidak bisa mejawabnya,” ujar santri itu
kembali menjelaskan.
“Saya
akan mencobanya semampu saya, Nak. Silakan ajukan apa yang hendak kamu
tanyakan?”
“Saya
mempunyai tiga pertanyaan. Pertama, apakah Allah benar-benar ada? Kalau memang ada, apa bukti dan bagaimana
bentuk-Nya? Kedua, apakah yang dimaksud dengan qadha dan apa yang dimaksud
dengan qadar? Ketiga, apabila menurut islam setan itu diciptakan dari api
neraka, kenapa kalau ia musyrik dan bermaksiat kepada Allah mereka akan dibakar
di dalam api neraka juga? Bukankah secara rasional mereka akan menyatu dengan
api itu?”
“Plaakk
!!”
Mendengar
pertanyaan-pertanyaan santri itu, sang ulama bukannya menjawab dengan
kata-kata, ia justru menampar muka santri itu
sekeras-kerasnya. Tidak menduga mendapatkan tamparan sekeras itu, sang
santri terkesiap kaget. Ia mengaduh kesakitan sambil memegang pipinya,
“Kenapa
anda menampar saya, apakah Anda marah dengan pertanyaan saya?”
“Saya
tidak marah. Tamparan itu adalah jawaban untuk tiga pertanyaan yang kamu ajukan
tadi,” jawab sang ulama tenang.
“Saya
benar-benar tidak mengerti. Apa kaitan
tamparan itu dengan pertayaan-pertanyaan yang saya ajukan barusan?” ujar
sang santri penasaran.
“Dengan
tampara tadi, sebenarnya kamu sudah mendapatkan jawabannya.”
“Maksud
Anda?”
“Apa
yang kamu rasakan ketika kamu mendapatkan tamparan tadi?”
“Tentu
saja sakit!”
“Sakit
kan? Apakah Anda yakin rasa sakit itu benar-benar ada?”
“Tentu
saja ada!”
“Kalau
Anda yakin rasa sakit itu ada. Bisakah Anda menunjukan kepada saya seperti apa
bentuk rasa sakit itu?”
“Saya
tidak memahami maksud Anda. Tentu saya tidak bisa melihat rasa sakit itu!”
“Nah,
itu adalah jawaban untuk pertanyaan kamu yang pertama. Artinya kita harus
merasa yakin dengan keberadaan Allah meskipun kita tidak mampu melihat-Nya.”
Sesudah menjelaskan mengenai
pertanyaan pertama tadi, ulama itu kembali bertanya,
“Apakah
kamu pernah bermimpi sebelumnya bahwa saya akan menamparmu hari ini?”
“Tidak.”
“Itu
adalah jawaban kedua. Bahwa qada dan qadar itu rahasia Allah. hanya Dialah yang
mengetahuinya!”
Sang ulama meneruskan,
“Kamu
mengatakan bahwa tamparan saya membuat pipimu sakit. Lihatlah kedua tangan ini,
terbuat dari apakah gerangan, kenapa bisa membuat pipimu sakit?”
“Dari
tanah,” jawab santri iu sambil terlihat kebingungan,
“Mukamu
sendiri diciptakan dari apa?”
“Sama,
dari tanah juga.”
“Lalu
apa yang kamu rasakan ketika kedua tangan saya yang terbuat dari tanah menampar
mukamu yang juga terbuat dari tanah?”
“Terasa
sakit.”
“Tepat
sekali! Walaupun setan tercipta dari api dan neraka adalah api, apabila Allah
berkehendak, maka api neraka akan terasa panas dan membakar setan. Alhasil,
janganlah semua masalah keagamaan Anda pahami hanya dengan memakai rasio. Karena
rasio mempunyai batas-batas yang dalam banyak hal tidak bisa memahami
rahasia-rahasia Allah. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”
DIkutip dari buku karangan Ahmad Salim Badwilan '300 KM Menuju Jahanam"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar