Home

Minggu, 07 Agustus 2016

Siapa Mencaci Dia Terhina



              Malam itu rembulan baru saja muncul  sepenuh wajah. Memijarkan sinarnya yanng indah  dan mempesona. Aku dan suamiku tak bisa menyembunyikan kebahagiaan ini. Perhelatan resepsi pernikahanku malam itu berlangsung cukup meriah.
            Saat para tamu undangan dan sebagian kerabat pulang kerumahnya masing-masing, dengan langkah penuh gembira, aku dan suamiku bergegas memasuki rumah yang telah disediakan oleh keluarga suamiku. Aku dan suamiku saling bercanda dan tertawa riang.
            Kami berjalan memasuki rumah laksana pangeran dan permaisurinya. Sesampainya di dalam kamar, kami lantas menanggalkan baju kebesaran pernikahan kami dan masing-masing menggantinya denngan baju tidur.
            Sebelum kami beranjak tidur, kami baru menyadari kalau perut kami begitu lapar karena sibuk menyambut tamu-tamu yang hadir sehingga tidak sempat makan malam.
            Aku lalu menata meja makan dan menyiapkan makanan yang memang telah disediakan keluargaku khusus untuk pengantin. Malam itu,
meja makan ditata sedemikian rupa seolah menjamu tamu kehormatan.
            Belum sempat suamiku mencicipi hidangan makan malam itu, tiba-tiba kami mendengar pintu rumah kami diketuk. Sekali bunyi ketukan itu terdengar samar. Dua kali, tiga kali, sampai akhirnya terdengar berulang. Kami lalu yakin, seseorang tengah mengetuk pintu dari luar.
            Dengan nada gusar penuh amarah, suamiku berkata padaku,
“siapa yang bertamu malam-malam begini?”
Sang suami menampakkan muka amarah dengan mata terbelalak. Sejujurnya aku kaget juga dengan sikap suamiku itu. Namun, aku hanya bisa melongo sambil menatap suamiku. Aku segera bergegas menuju pintu rumah untuk melihat siapa tamu yang datang. Setibanya di pintu, aku menengok ke jendela kaca. Nampak di luar, seorang laki-laki dengan pakaian kumal dan rambut acak-acakan.
            Sebelum aku membuka pintu, aku bertanya kepadanya,
“Siapa ?”
Tukasku dengan nada yang ramah. Mataku tak berhenti memandang orang asing di luar rumah itu.
            Dari luar terdengar jawaban lemah seorang laki-laki,
“Maaf, nyonya, saya pengemis. Sudikah kiranya nyonya memberikan sebagian makanan yang nyonya miliki pada saya ? sungguh saya belum makan dari tadi pagi nyonya!”
            Sejenak aku terdiam. Tak lama kemudian aku bergegas menuju suamiku dan memberi tahu maksud kedatangan sang tamu yang barusan mengetuk pintu rumah kami itu.
            Dengan nada penuh amarah suamiku berkata,
“Apa? pengemis?? Dasar pengemis tidak tahu diri! Berani-beraninya dia mengganggu kenyamanan kita pada malam pengantin ini?”
            Sesaat kemudian,dengan emosi membuncah suamiku keluar menghampiri pengemis itu. Tanpa banyak bicara, dia menghardik dan mengusir pengemis itu seraya menudingnya kasar,
“Pergi kamu !!”
            Diusir dengan cara yang sangat kasar, si pengemis pergi entah kemana. Suamiku lalu kembali menghampiriku, masih tersisa perasaan dongkol di hatinya. Aku sangat menyayangkan perlakuan kasar suamiku pada pengemis itu. Namun aku hanya diam dan mengelus dada.
            Diam-diam aku berdo’a untuk kebaikan dan keberkahan hidup sang pengemis yang baru diusir suamiku itu. Tak lupa juga aku memohon ampunan kepada Allah atas perlakuan kasar suamiku pada pengemis tadi.
            Belum sempat suamiku tiba di ruang tengah, dimana aku tengah menunggunya, entah terkena apa, tiba-tiba suamiku meraung-raung kesakitan seraya mengacung-acungkan telunjuknya.
            Suamiku merasakan rasa panas yang luar biasa sambil meniup-niup telunjuk kanannya. Telunjuk yang tadi ditudingkannya kepada sang pengemis yang malang itu.
            Ia pergi kesana kemari. Melihat suamiku demikian, aku menjadi sungguh panik. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
“Apa yang terjadi padamu, suamiku? Ada apa denganmu?”
            Suamiku terus saja berteriak-teriak seperti orang gila. Ia lalu bergegas keluar rumah sambil meniup-niupi telunjuk kanannya itu. Ia terlihat begitu kesakitan. Aku hanya panik dan gemetaran melihat pemandangan itu. Ia pun lalu meloncat ke luar rumah dan lari entah kemana.
            Aku mencoba mengejarnya, namun ia terus saja berlari terbirit-birit seperti dikejar sesuatu yang menakutkan. Makin lama, ia pun makin jauh berlari. Hingga akupun tidak melihatnya lagi ditelan kegelapan malam.
            Aku tidak mengira malam pertama kebahagiaanku itu sekaligus juga menjadi malam pertama kesengsaraan hidupku. Sejak saat itu, samasekali tidak ada kabar berita tentang suamiku lagi.

            Tak terasa, lima belas tahun lamanya aku menunggu kabar suamiku. Jangankan kembali, berita tentangnya pun raib ditelan waktu. Sampai kemudian ada seorang laki-laki meminangku.
            Sejujurnya aku bingung dengan lamaran itu. Di satu sisi aku membutuhkan pendamping hidup, namun di sisi lain aku juga masih ingin menunggu kehadiran suamiku yang pertama.
            Di tengah kebingungan itu, keluargaku terus mendesakku agar menerima lamaran itu. Uuntuk meyakinkanku, mereka kemudian membawa kasus ini ke pengadilan agama setempat. Para hakimpun memutuskan, bahwa aku telah dinyatakan cerai karena selama lima belas tahun tanpa tanggung jawab suami.
            Mendengar keputusan pengadilan agama itu, barulah aku merasa tenang. Saat itulah aku baru mau menerima lamaran lelaki yang baru aku kenal itu.
            Singkat cerita, resepsi pernikahan pun digelar. Kali ini resepsi pernikahan tidak kalah meriah meriah dari resepsi pernikahanku yang pertama. Kami lalu menuju kamar dan mengganti pakaian kami. Sebelum tidur, kami pun menuju ruangan tengah untuk menyantap hidangan istimewa buat pengantin yang telah disediakan.
            Belum sempat aku dan suamiku mencicipi hidangan itu, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu rumah. Sekali, dua kali, dan tiga kali. Sungguh aku kaget bukan kepalang, kejadian ini nyaris hampir sama dengan kejadianku di malam pengantin dengan suamiku yang pertama. Saking kagetnya, aku jadi tidak tahu apa yang harus aku lakukan hingga suamiku berkata,
“Sayang, cobalah kamu lihat siapa yang mengetuk pintu rumah?”
“Iya, baiklah “ jawabku singkat.
            Aku bergegas menuju pintu. Dari kaca jendela aku mengintip seraya bertanya,
“Iya, siapa di luar?”
Orang yang berada di luar itu menjawab dengan nada memelas,
“Maaf, Nyonya, saya pengemis. Sudikah kiranya nyonya memberikan sebagian makanan yang nyonya miliki? Sungguh, dari tadi pagi saya belum makan nyonya !”
             Aku pun kembali ke ruangan tengah dan memberitahu suamiku, maksud kedatangan sang tamu tak diundang itu. Suamiku berkata,
“Berilah dia semua makanan ini, dan biarkanlah dia makan dengan kenyang!”
            Sungguh aku terkesan dengan sikap suamiku. Ia begitu lembut dan berhati mulia sehingga mau membantu pengemis itu. Akupun pergi dan menyerahkan semua makanan itu pada si pengemis.
            Si pengemis itu begitu gembira dan sumringah. Tak lupa ia berterimakasih dan juga mendo’akan aku dan suamiku agar mendapatkan keberkahan hidup dalam rumah tangga kami.
            Saat aku kembali pada suamiku, sungguh aku tidak bisa membendung rasa haru. Aku menangis tersedu-sedu. Suamiku terheran-heran.
“Apa gerangan yang menimpa dirimu? Kenapa kamu menangis? Apakah pengemis itu menyakitimu?”
            Aku terus saja menangis. Suamiku pun terus bertanya. Aku hanya menjawab,
“Tidak ada apa-apa.”
            Agaknya suamiku bisa membaca kesedihanku. Ia tidak begitu percaya dengan  jawabanku. Apalagi saat itu tangisanku makin meledak-ledak.
“Isteriku, kalau memang tidak terjadi apa-apa, lantas kenapa kamu terus menangis seperti itu?”
            Aku lalu menyeka air mataku. Badanku terasa menggigil dan bibirku terkunci rapat. Aku tidak bisa berkata apapun selain berusaha meredam sisa-sisa isak tangisan. Namun suamiku terus-menerus mencecarku dengan pertanyaannya karena penasaran.
“Tahukah kamu, suamiku, kenapa aku menangis sedih? Karena orang yang tadi meminta- minta itu tak lain adalah bekas suamiku yang pertama, lima belas tahun silam. Kami teringat saat kami dulu di malam pertama, kami juga kedatangan seseorang yang mengetuk pintu rumah kami. Ternyata itu adalah seorang pengemis yang meminta-minta. Suamiku saat itu pergi keluar rumah dan menghardik pengemis itu. Saat ia masuk ke rumah kembali, tiba-tiba sesuatu menimpa dirinya. Ia seolah kesurupan terkena gangguan jin. Nampak sekali dirinya panik ketika iu. Ia lalu lari terbirit-birit ke luar rumah sampai kemudian tidak terlihat lagi batang hidungnya. Sejak saat itulah aku tidak melihat dirinya. Hingga hari ini ternyata aku melihatnya kembali dalam keadaan demikian. Dialah pengemis tadi !”
            Tiba-tiba suamiku juga menangis hebat seraya berkata,
“Tahukah kamu, isteriku , siapa lelaki pengemis yang saat itu dipukul dan dihardik oleh suamimu yang pertama itu?”
            Aku hanya menatap suamiku yang segera melanjutkan ucapannya,
“Pengemis malang itu tidak lain adalah aku sendiri, suamimu saat ini!” tegas suamiku.
            Aku masih tak percaya dengan kejadian ini. Tetapi itulah yang terjadi dalam hidup dan rumah tanggaku yang takkan kulupakan begitu saja. Ini sungguh menjadi pelajaran berharga bagiku.
            

              Maha suci Allah yang maha perkasa lagi maha membalas. Dialah yang telah membalaskan rasa sakit si pengemis miskin yang meminta-minta kepada setiap orang. Sakit yang sangat mendera dirinya akibat perut lapar. Sang suami pertama agaknya telah menambah luka kepedihan si pengemis dengan mengusir dan menghardiknya. Ia benar-benar terhina sehingga Allah tidak menerima perlakuan zalim tersebut.
            Allah pun menurunkan azab kepada mereka yang suka berbuat lalim kepada orang lain. Sebaliknya, Allah juga mengangkat derajat  mereka yang termasuk orang-orang yang sabar menerima perlakuan lalim sesamanya.
            Maha suci Allah yang maha mulia, yang telah memberikan anugerah pada seorang janda mukminah yang penyabar menerima ujian selama lima belas tahun hingga kemudian Allah menggantinnya dengan suami yang lebih baik dari suaminya yang pertama.
. . . . . . .
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).
            Marilah kita semua selalu memohon perlindungan kepada Allah dan senantiasa bermuhasabah diri karena  sering kali kita tidak sadar bahwa lisan ini tak selamanya selalu berkata baik dan menyakitkan hati orang lain, tangan ini pun demikian seringkali kita enggan untuk memberi dan menolong orang lain padahal dalam harta yang kita miliki juga terdapat hak orang lain yang harusnya kita berikan secara “Adil” .
            Sampai jumpa di artikel dan cerpen kisah islami pada postingan Cerita Pena selanjutnya ,  Assalamu’alaikum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar