Saat para tamu undangan dan sebagian
kerabat pulang kerumahnya masing-masing, dengan langkah penuh gembira, aku dan
suamiku bergegas memasuki rumah yang telah disediakan oleh keluarga suamiku.
Aku dan suamiku saling bercanda dan tertawa riang.
Kami berjalan memasuki rumah laksana
pangeran dan permaisurinya. Sesampainya di dalam kamar, kami lantas
menanggalkan baju kebesaran pernikahan kami dan masing-masing menggantinya
denngan baju tidur.
Sebelum kami beranjak tidur, kami
baru menyadari kalau perut kami begitu lapar karena sibuk menyambut tamu-tamu
yang hadir sehingga tidak sempat makan malam.
Aku lalu menata meja makan dan
menyiapkan makanan yang memang telah disediakan keluargaku khusus untuk
pengantin. Malam itu,
meja makan ditata sedemikian rupa seolah menjamu tamu kehormatan.
meja makan ditata sedemikian rupa seolah menjamu tamu kehormatan.
Belum sempat suamiku mencicipi
hidangan makan malam itu, tiba-tiba kami mendengar pintu rumah kami diketuk.
Sekali bunyi ketukan itu terdengar samar. Dua kali, tiga kali, sampai akhirnya
terdengar berulang. Kami lalu yakin, seseorang tengah mengetuk pintu dari luar.
Dengan nada gusar penuh amarah,
suamiku berkata padaku,
“siapa
yang bertamu malam-malam begini?”
Sang
suami menampakkan muka amarah dengan mata terbelalak. Sejujurnya aku kaget juga
dengan sikap suamiku itu. Namun, aku hanya bisa melongo sambil menatap suamiku.
Aku segera bergegas menuju pintu rumah untuk melihat siapa tamu yang datang. Setibanya
di pintu, aku menengok ke jendela kaca. Nampak di luar, seorang laki-laki
dengan pakaian kumal dan rambut acak-acakan.
Sebelum aku membuka pintu, aku
bertanya kepadanya,
“Siapa
?”
Tukasku
dengan nada yang ramah. Mataku tak berhenti memandang orang asing di luar rumah
itu.
Dari luar terdengar jawaban lemah
seorang laki-laki,
“Maaf,
nyonya, saya pengemis. Sudikah kiranya nyonya memberikan sebagian makanan yang
nyonya miliki pada saya ? sungguh saya belum makan dari tadi pagi nyonya!”
Sejenak aku terdiam. Tak lama
kemudian aku bergegas menuju suamiku dan memberi tahu maksud kedatangan sang
tamu yang barusan mengetuk pintu rumah kami itu.
Dengan nada penuh amarah suamiku
berkata,
“Apa?
pengemis?? Dasar pengemis tidak tahu diri! Berani-beraninya dia mengganggu
kenyamanan kita pada malam pengantin ini?”
Sesaat kemudian,dengan emosi
membuncah suamiku keluar menghampiri pengemis itu. Tanpa banyak bicara, dia
menghardik dan mengusir pengemis itu seraya menudingnya kasar,
“Pergi
kamu !!”
Diusir dengan cara yang sangat
kasar, si pengemis pergi entah kemana. Suamiku lalu kembali menghampiriku,
masih tersisa perasaan dongkol di hatinya. Aku sangat menyayangkan perlakuan
kasar suamiku pada pengemis itu. Namun aku hanya diam dan mengelus dada.
Diam-diam aku berdo’a untuk kebaikan
dan keberkahan hidup sang pengemis yang baru diusir suamiku itu. Tak lupa juga
aku memohon ampunan kepada Allah atas perlakuan kasar suamiku pada pengemis
tadi.
Belum sempat suamiku tiba di ruang
tengah, dimana aku tengah menunggunya, entah terkena apa, tiba-tiba suamiku
meraung-raung kesakitan seraya mengacung-acungkan telunjuknya.
Suamiku merasakan rasa panas yang
luar biasa sambil meniup-niup telunjuk kanannya. Telunjuk yang tadi
ditudingkannya kepada sang pengemis yang malang itu.
Ia pergi kesana kemari. Melihat
suamiku demikian, aku menjadi sungguh panik. Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan.
“Apa
yang terjadi padamu, suamiku? Ada apa denganmu?”
Suamiku terus saja berteriak-teriak
seperti orang gila. Ia lalu bergegas keluar rumah sambil meniup-niupi telunjuk
kanannya itu. Ia terlihat begitu kesakitan. Aku hanya panik dan gemetaran
melihat pemandangan itu. Ia pun lalu meloncat ke luar rumah dan lari entah
kemana.
Aku mencoba mengejarnya, namun ia
terus saja berlari terbirit-birit seperti dikejar sesuatu yang menakutkan.
Makin lama, ia pun makin jauh berlari. Hingga akupun tidak melihatnya lagi
ditelan kegelapan malam.
Aku tidak mengira malam pertama
kebahagiaanku itu sekaligus juga menjadi malam pertama kesengsaraan hidupku.
Sejak saat itu, samasekali tidak ada kabar berita tentang suamiku lagi.
Tak terasa, lima belas tahun lamanya
aku menunggu kabar suamiku. Jangankan kembali, berita tentangnya pun raib
ditelan waktu. Sampai kemudian ada seorang laki-laki meminangku.
Sejujurnya aku bingung dengan
lamaran itu. Di satu sisi aku membutuhkan pendamping hidup, namun di sisi lain
aku juga masih ingin menunggu kehadiran suamiku yang pertama.
Di tengah kebingungan itu,
keluargaku terus mendesakku agar menerima lamaran itu. Uuntuk meyakinkanku,
mereka kemudian membawa kasus ini ke pengadilan agama setempat. Para hakimpun
memutuskan, bahwa aku telah dinyatakan cerai karena selama lima belas tahun
tanpa tanggung jawab suami.
Mendengar keputusan pengadilan agama
itu, barulah aku merasa tenang. Saat itulah aku baru mau menerima lamaran
lelaki yang baru aku kenal itu.
Singkat cerita, resepsi pernikahan
pun digelar. Kali ini resepsi pernikahan tidak kalah meriah meriah dari resepsi
pernikahanku yang pertama. Kami lalu menuju kamar dan mengganti pakaian kami. Sebelum
tidur, kami pun menuju ruangan tengah untuk menyantap hidangan istimewa buat pengantin
yang telah disediakan.
Belum sempat aku dan suamiku
mencicipi hidangan itu, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu rumah. Sekali,
dua kali, dan tiga kali. Sungguh aku kaget bukan kepalang, kejadian ini nyaris
hampir sama dengan kejadianku di malam pengantin dengan suamiku yang pertama. Saking
kagetnya, aku jadi tidak tahu apa yang harus aku lakukan hingga suamiku
berkata,
“Sayang,
cobalah kamu lihat siapa yang mengetuk pintu rumah?”
“Iya,
baiklah “ jawabku singkat.
Aku bergegas menuju pintu. Dari kaca
jendela aku mengintip seraya bertanya,
“Iya,
siapa di luar?”
Orang
yang berada di luar itu menjawab dengan nada memelas,
“Maaf,
Nyonya, saya pengemis. Sudikah kiranya nyonya memberikan sebagian makanan yang
nyonya miliki? Sungguh, dari tadi pagi saya belum makan nyonya !”
Aku pun kembali ke ruangan tengah dan
memberitahu suamiku, maksud kedatangan sang tamu tak diundang itu. Suamiku berkata,
“Berilah
dia semua makanan ini, dan biarkanlah dia makan dengan kenyang!”
Sungguh aku terkesan dengan sikap
suamiku. Ia begitu lembut dan berhati mulia sehingga mau membantu pengemis itu.
Akupun pergi dan menyerahkan semua makanan itu pada si pengemis.
Si pengemis itu begitu gembira dan
sumringah. Tak lupa ia berterimakasih dan juga mendo’akan aku dan suamiku agar
mendapatkan keberkahan hidup dalam rumah tangga kami.
Saat aku kembali pada suamiku,
sungguh aku tidak bisa membendung rasa haru. Aku menangis tersedu-sedu. Suamiku
terheran-heran.
“Apa
gerangan yang menimpa dirimu? Kenapa kamu menangis? Apakah pengemis itu
menyakitimu?”
Aku terus saja menangis. Suamiku pun
terus bertanya. Aku hanya menjawab,
“Tidak
ada apa-apa.”
Agaknya suamiku bisa membaca
kesedihanku. Ia tidak begitu percaya dengan jawabanku. Apalagi saat itu tangisanku makin meledak-ledak.
“Isteriku,
kalau memang tidak terjadi apa-apa, lantas kenapa kamu terus menangis seperti
itu?”
Aku lalu menyeka air mataku. Badanku
terasa menggigil dan bibirku terkunci rapat. Aku tidak bisa berkata apapun
selain berusaha meredam sisa-sisa isak tangisan. Namun suamiku terus-menerus
mencecarku dengan pertanyaannya karena penasaran.
“Tahukah
kamu, suamiku, kenapa aku menangis sedih? Karena orang yang tadi meminta- minta
itu tak lain adalah bekas suamiku yang pertama, lima belas tahun silam. Kami teringat
saat kami dulu di malam pertama, kami juga kedatangan seseorang yang mengetuk pintu
rumah kami. Ternyata itu adalah seorang pengemis yang meminta-minta. Suamiku saat
itu pergi keluar rumah dan menghardik pengemis itu. Saat ia masuk ke rumah
kembali, tiba-tiba sesuatu menimpa dirinya. Ia seolah kesurupan terkena
gangguan jin. Nampak sekali dirinya panik ketika iu. Ia lalu lari
terbirit-birit ke luar rumah sampai kemudian tidak terlihat lagi batang hidungnya.
Sejak saat itulah aku tidak melihat dirinya. Hingga hari ini ternyata aku
melihatnya kembali dalam keadaan demikian. Dialah pengemis tadi !”
Tiba-tiba suamiku juga menangis
hebat seraya berkata,
“Tahukah
kamu, isteriku , siapa lelaki pengemis yang saat itu dipukul dan dihardik oleh
suamimu yang pertama itu?”
Aku hanya menatap suamiku yang
segera melanjutkan ucapannya,
“Pengemis
malang itu tidak lain adalah aku sendiri, suamimu saat ini!” tegas suamiku.
Aku masih tak percaya dengan
kejadian ini. Tetapi itulah yang terjadi dalam hidup dan rumah tanggaku yang
takkan kulupakan begitu saja. Ini sungguh menjadi pelajaran berharga bagiku.
Maha suci Allah yang maha perkasa
lagi maha membalas. Dialah yang telah membalaskan rasa sakit si pengemis miskin
yang meminta-minta kepada setiap orang. Sakit yang sangat mendera dirinya
akibat perut lapar. Sang suami pertama agaknya telah menambah luka kepedihan si
pengemis dengan mengusir dan menghardiknya. Ia benar-benar terhina sehingga
Allah tidak menerima perlakuan zalim tersebut.
Allah pun menurunkan azab kepada
mereka yang suka berbuat lalim kepada orang lain. Sebaliknya, Allah juga
mengangkat derajat mereka yang termasuk
orang-orang yang sabar menerima perlakuan lalim sesamanya.
Maha suci Allah yang maha mulia,
yang telah memberikan anugerah pada seorang janda mukminah yang penyabar
menerima ujian selama lima belas tahun hingga kemudian Allah menggantinnya dengan
suami yang lebih baik dari suaminya yang pertama.
. . . . . . .
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).
Marilah kita semua selalu memohon
perlindungan kepada Allah dan senantiasa bermuhasabah diri karena sering kali kita tidak sadar bahwa lisan ini
tak selamanya selalu berkata baik dan menyakitkan hati orang lain, tangan ini
pun demikian seringkali kita enggan untuk memberi dan menolong orang lain
padahal dalam harta yang kita miliki juga terdapat hak orang lain yang harusnya
kita berikan secara “Adil” .
Sampai jumpa di artikel dan cerpen
kisah islami pada postingan Cerita Pena selanjutnya , Assalamu’alaikum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar