“Wahai umatku ... kita semua ada
dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya maka taati dan bertaqwalah kepada-Nya”
“Kuwatkanlah dua perkara pada kalian yakni Al-qur’an dan
sunnahku”
“Barangsiapa mencintai sunnahku,
berarti engkau mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan masuk
syurga bersama-sama aku ...”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan
pandangan mata Rasul yang tenang dan menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar
menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar
dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya, Usman menghela nafas
panjang, Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Isyarat itu telah datang, sudah tiba
saatnya. Rasulullah akan meninggalkan kita semua.”
Keluh hati semua sahabat
kala itu.
Manusia tercinta itu hampir selesai
menunaikan tugasnya di dunia..
Tanda-tanda itu semakin kuat tatkala
Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang kondisinya semakin lemah
dan goyah ketika turun dari mimbar. Disaat itu, kalau saja mampu seluruh
sahabat yang hadir disana pasti akan menahan detik demi detik yang berlalu.
Matahari makin tinggi, tetapi pintu
rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya Rasulullah sedang
terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma
yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang berseru
mengucaokan salam,
“Bolehkah saya masuk?”
Tanyanya,
tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.
“Maaf, Ayahku sedang demam”
Kata
Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian
ia kembali menemani Ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada
Fatimah,
“Siapakah
itu wahai anakku?”
“Tak
tahulah Ayahku, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya” tutur Fatimah lembut
Lalu Rasulullah menatap putrinya itu
dengan pandangan yang menggetarkan seolah-olah seluruh sudut wajah anaknya itu
hendak dikenangnya,
“Ketahuilah
nak, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara dialah yang memisahkan
pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut”
kata Rasulullah.
Fatimah
menahan ledakkan tangisnya, malaikat maut telah datang menghampiri, Rasulullah
pun menanyakan kenapa Jibril tidak menyertainya.
Kemudian
dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut
Ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini,
“Jibril
jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?”
tanya
Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu
langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu, semua syurga terbuka
lebar menanti kedatanganmu” kata Jibril.
Tapi semua penjelasan Jibril itu
tidak membuat Rasul lega, matanya masih penuh kecemasan dan tanda tanya
“Engkau
tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi
“Kabarkan
kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” Tanya Rasul
“Jangan
kawatir wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan
syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya” kata
Jibril meyakinkan.
Detik-detik wafatnya Rasulullah
semakin dekat, saatnya Izroil melakukan tugas. Perlahan-lahan Ruh Rasulullah
ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh urat-urat lehernya
menegang.
“Jibril, betapa sakit sakaratul
maut ini ...” perlahan desiran suara Rasulullah
mengaduh
Fatimah hanya mampu memejamkan
matanya sementara Ali yang ada disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril
pun memalingkan muka.
“Jijik
kah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasul pada
malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah
yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal?” kata Jibril.
Sesaat kemudian terdengar Rasulullah
memekik karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya
Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku,
jangan pada umatku”
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki
dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak
membisikkan sesuatu. Ali pun segera mendekatkan telinganya,
“Uushiikum bis shalati, wa maa
malakat aimanuku (peliharalah sholat dan peliharalah
orang-orang lemah diantaramu)”
Di
luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan,
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya
ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan,
“Ummatii, Ummatii, Ummatii...”
Dan
berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinar kemuliaan itu.
Mampukah kita mencintai sepertinya
Allahumma sholli ‘allaa Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi Betapa
cintanya Rasulullah kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar