Home

Minggu, 11 Desember 2016

Detik-Detik Wafatnya Kekasih Allah



           


           Inilah sebuah bukti tentang cinta yang sebenar-benarnya cinta yang dicontohkan Allah Ta’ala melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, walaupun langit mulai menguning tetapi burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara lemah memberikan khutbah terakhirrnya.

            “Wahai umatku ... kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya maka taati dan bertaqwalah kepada-Nya”

            “Kuwatkanlah  dua perkara pada kalian yakni Al-qur’an dan sunnahku”

            “Barangsiapa mencintai sunnahku, berarti engkau mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan masuk syurga bersama-sama aku ...”

            Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasul yang tenang dan menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar  dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya, Usman menghela nafas panjang, Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

            “Isyarat itu telah datang, sudah tiba saatnya. Rasulullah akan meninggalkan kita semua.”
Keluh hati semua sahabat kala itu.

            Manusia tercinta itu hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia..

            Tanda-tanda itu semakin kuat tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang kondisinya semakin lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Disaat itu, kalau saja mampu seluruh sahabat yang hadir disana pasti akan menahan detik demi detik yang berlalu.

            Matahari makin tinggi, tetapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang berseru mengucaokan salam,

            “Bolehkah saya masuk?”

Tanyanya, tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.

            “Maaf, Ayahku sedang demam”

Kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani Ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,

“Siapakah itu wahai anakku?”

“Tak tahulah Ayahku, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya” tutur Fatimah lembut

            Lalu Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan seolah-olah seluruh sudut wajah anaknya itu hendak dikenangnya,

“Ketahuilah nak, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut” kata Rasulullah.


Fatimah menahan ledakkan tangisnya, malaikat maut telah datang menghampiri, Rasulullah pun menanyakan kenapa Jibril tidak menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut Ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini,

“Jibril jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?”

tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.

“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu, semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu” kata Jibril.

            Tapi semua penjelasan Jibril itu tidak membuat Rasul lega, matanya masih penuh kecemasan dan tanda tanya

“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi

“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” Tanya Rasul

“Jangan kawatir wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnyakata Jibril meyakinkan.

            Detik-detik wafatnya Rasulullah semakin dekat, saatnya Izroil melakukan tugas. Perlahan-lahan Ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh urat-urat lehernya menegang.

“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini ...” perlahan desiran suara Rasulullah mengaduh

            Fatimah hanya mampu memejamkan matanya sementara Ali yang ada disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril pun memalingkan muka.

“Jijik kah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasul pada malaikat pengantar wahyu itu.

“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal?” kata Jibril.

            Sesaat kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

“Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku”

            Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali pun segera mendekatkan telinganya,

“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku (peliharalah sholat dan peliharalah orang-orang lemah diantaramu)

            Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan, Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan,

Ummatii, Ummatii, Ummatii...


Dan berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinar kemuliaan itu.

            Mampukah kita mencintai sepertinya Allahumma sholli ‘allaa Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi Betapa cintanya  Rasulullah kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar